Kamis, 30 Oktober 2008

DILEMATIS TUGAS GURU ANTARA TUGAS PROFESI DAN KELUARGA


Kalau kita berbicara guru, sepintas terlihat sesosok orang yang dengan kesabarannya, ketegasan, kearipan membimbing dan mengajar anak-anak didik didepan kelas. Kalau kita menkaji lebih jauh, hal-hal tersebut bisa menjadi kenyataan, tapi tidak mustahil hal tersebut menjadi bayangan semu belaka, betapa tidak, seorang guru kalau dilihat dari latar belakang cita-cita awal. Berdasarkan seringnya bertukar pikiran dan pandangan, menjadi guru bukanlah cita-cita utama dari guru-guru yang telah bertugas. Hal ini dapat dimaklumi, pada waktu-waktu terdahulu, guru sering di Indentikkan dengan seorang yang bertugas dengan sepeda ontelnya, kehidupan ekonomi keluarga yang pas-pasan (kalau boleh dikatakan selalu kekurangan), sehingga cita-cita menjadi guru bukanlah cita-cita utama melainkan cita-cita kesasar, oleh beberapa sebab diantaranya tidak diterima pada fakultas-fakultas pavorit (kedokteran, teknik ini, teknik itu) yang menjanjikan peluang kerja berpenghasilan jauh lebih baik. Tidak sedikit juga seorang guru yang memang dari awalnya ingin menjadi guru betul-betul dari hati nuraninya, bisa terjadi oleh sebab dari kecil. Oleh karena beberapa contoh keteladanan dari beberapa orang guru-gurunya pada waktu sekolah, tidaklah sedikit guru-guru yang melaksanakan tugas penuh dengan dedikasi cenderung dicintai oleh anak-anak didiknya.Guru yang penuh dedikasi yang menghayati arti tugasnya sebagai pendidikan tentu mengharapkan anak-anak didiknya berhasil dalam hidup dan kehidupan, permasalahan yang ada dalam proses belajar mengajar, guru dituntut untuk mempunyai kemampuan (kompetensi) baik paedagogik, psykologik, ..................dst (guru pasti tahu, saya takut kesannya menggurui), singkatnya masalah kemampuan ini, itu guru dapat mengembangkan diri dengan cara banyak belajar, disisi lain dalam PBM guru memerlukan media, sarana dan prasarana untuk menunjang proses belajar mengajar. Hanya saja guru tidak mempunyai kewewenangan dalam mewujutkan keinginan tersebut, kalau kita perhatikan dari beberapa sekolah tidak sedikit menjual program sarana dan prasarana dalam paparan rapat Komite Sekolah. Tetapi dalam pelaksanaannya mungkin hanya beberapa persen yang dibelanjakan untuk menunjang tercapainya program tersebut (bukanya suuzhon, pak, hal ini bisa kita ukur dari banyaknya keluhan guru-guru, kurang ini, kurang itulah dst..dst), belum lagi perhatian pemerintah dari uang BOMM, uang BOS dan seterusnya, sebetulnya kalau yang mempunyai wewenang (baca: Kepala Sekolah), pada saat menjadi guru menghayati betul tugasnya sebagai guru, betapa merasa pentingnya sarana dan prasarana pendidikan untuk menunjang peroses pendidikan. Kini pada saat setelah amanah ada pada pundaknya, kenapa hal-hal tersebut terlupakan? (boleh jadi).>/i> Disisi lain ada harapan masyarakat untuk orang-orang yang berprofesi guru, contoh-contoh yang baik, selalu aktif dalam kegiatan kemasyarakatan, terkadang guru di dalam masyarakat dianggap orang yang serba bisa.....? dan lain-lain sebagainya, ada contoh yang menggelikan yang pernah penulis alami, pada saat ada kematian dikeluarga yang keadaan ekonominya dibawah standart. Kami di undang untuk tahlilan (adat wong kito lahhhh). Karena sebagian besar masyarakat kalau diundang orang yang berada, berpangkat dst. Ramai sekali yang datang dan sebaliknya. Kebetulan yang datang ke ahli musibah diatas relatif sedikit, sampai pada puncak acara yang mau mengholipahi acara ( biasanya pak kiayi), belum juga datang, akhirnya tuan rumah dan hadirin sepakat, terpaksa pak guru yang disuruh (dianggap serba bisa), padahal si guru dalam segi agama masih jauh dari kurang, akhirnya saling lempar ke hadirin, ayo kamu aja, kembali lagi kamu aja dst, tuan rumah tanggap situasi, hanya minta “ sudah kalau tidak pakai tahlilan baca fatehah saja” kembali situasi seperti tadi lempar sana lempar sini, akhir tuan rumah bilang sudah baca bismillah saja, terus selesai makan..... pulang dari situ muka ini rasanya sembab bak disengat tawon, semenjak itu guru rajin belajar agama.(hanya salah satu contoh harapan masyarakat) Disisi lain lagi guru juga merupakan seorang kepala keluarga, sebagai kepala keluarga tentu mengharapkan sekali anak-anak kandungnya berhasil juga dalam kehidupan. Seiring dengan kemajuan teknologi IT, system pembelajaran sarana dan prasara tidak mungkin terlepas dari media yang namanya komputer, internet dan lain sebagainya, bukan rahasia lagi semuanya itu tidak sedikit memerlukan biaya, belum lagi kalau ingin mengharapkan anak-anaknya kuliah di Kampus ternama di Indonesia ini (ITB, UGM, UI dst), semenjak otoritas pendidikan di kampus, biayanya na’uzubillah mahalnya untuk penghasilan seorang guru, misal untuk masuk ke UGM pertama sekali lebih dari sepuluh juta rupiah, kita asumsikan gaji guru dua setengah juta, bearti guru tersebut harus megorbankan 4 bulan gaji, untuk satu anaknya masuk ke UGM, tidak usah makan dan lainnya habis untuk semuanya kesitu. ................. “hanya ilustrasi”). Permasalahan selanjutnya bagaimana seorang guru bisa mengharapkan anak-anaknya berhasil maksimal kalau hal-hal tersebut di atas tidak pernah tercukupi, imbas selanjutnya jangan-jangan masyarakat mencemo’oh, “bagaimana mau mendidik anak orang lain kalau mendidik anaknya saja tidak bisa?” imbas selanjutnya bisa saja guru yang demikian akan tambah loyo dalam bertugas, bagaimana jadinya anak-anak didk kita nantinya?.Kembali kepada sarana dan prasarana, kalau disekolah(lembaga pendidikan biaya bisa dianggarkan dari program komite, uang BOMM, Uang BOS bantuan hibah dan sebagainya, tinggal lagi yang berwewenang mau tidak membelanjakan uang tersebut sesuai dengan program yang ditulis dan keinginan guru yang memang merasakan perlunya sarana dan prasarana, kalau hanya berpikir menggantikan uang tersebut dengan lembar-lembar yang namanya SPJ fiktif, semuanya itu akan menjadi fotamorgana saja (wallahu alam bisawwab Salam tuk rekan guru seluruh indonesia. Mohon maaf bila tulisan ini menyinggung hati bapak-ibu, kepada Allah saya mohon ampun>.mudah-mudahan yang Maha Kuasa tidak menghukum kita begini (lihat gambar di atas )pada hari akherat kelak disebabkan kita terlalu memikirkan kehidupan dunia, saya kira suatu hal yang wajar, perhatian pemerintah sa’at ini, untuk mensejahterahkan nasib-nasib guru yang telah lama menderita. Dengan jalan memberikan peluang untuk mendapatkan tunjangan tambahan (sertfikasi guru) yang merupakan penghargaan pemerintah terhadap guru-guru, doa’ saya mudah-mudahan niat baik pemerintah ini. Dilaksanakan oleh Bapak-bapak yang berwewenang dimulai dari team sertifikasi termasuk asessor dapat bekerja secara profesional dan bertanggung jawab, guru-guru yang lulus sertifikasi bukan hasil dari KKN, tetapi guru-guru yang memang mempunyai kemampuan, berdedikasi dst dst). Saya sependapat dengan ibu Darmaningtyas dalam bukunya “pendidikan gila-gilaan”, “ seberapapun gaji guru tidak akan berdampak positif bagi dunia pendidikan kalau penghasilan tersebut hanya mengarah ke hal-hal yang bersifat komsumer, peningkatan gaya hidup, bukan untuk mengembangkan kemampuan profesional dst ....”

1 komentar:

  1. Aduh mass, inilah delematis, guru ngajarin siswa jujur, kepalas sekolah, menuntut, disiplin terhadap guru, tapi kepala sekolah gimana ya, jujur, amah, biar cepat bertobat masss !!!!!

    BalasHapus